Setahun berselang pasca reformasi, tepatnya 25 Juli 1999 merupakan
babak baru bagi kehidupan saya sebagai anak yang lahir di pulau dewata.
Berbekal keyakinan atas saran orang tua bahwa tinggal di pondok itu sangat menyenangkan,
maka setelah lulus Sekolah Dasar saya pun berangkat bersama bapak ke Yogyakarta.
Sesuai informasi yang didapat, bapak mengajak saya untuk menuju
Pondok Al-Munawwir Krapyak, Bantul. Sungguh, waktu itu saya tidak mengerti sama
sekali tentang lembaga pendidikan yang akan didatangi tersebut. Sepintas yang
saya pahami selama sebelas tahun hidup di Bali, istilah pondok adalah sebutan
untuk sebuah tempat penginapan bagi wisatawan yang dibangun dari bahan dasar
bambu.
Model “pondok” ini menjadi favorit para turis mancanegara karena
bangunannya yang memiliki nilai seni tinggi. Menurut informasi yang didapat;
biaya menginap satu malamnya -tahun ini- sekitar tiga juta rupiah!. Harga yang
sangat fantastis bukan?. Kini, seringkali saya tersenyum malu kalau mengingat
hal itu. Faktanya, pondok yang dimaksud bapak saya ialah tempat dimana
seseorang akan dididik memperdalam keilmuannya.
Perjalanan Bali-Yogyakarta yang ditempuh dengan bus memerlukan
waktu dua puluh jam lamanya. Sesampainya di terminal Umbulharjo (sekarang
pindah ke Giwangan), kami langsung mencari bus yang mengarah ke Krapyak.
Sekitar dua puluh menit kemudian, kami tiba di PP. Al-Munawwir Krapyak.
Bapak menyarankan saya untuk menunggu dulu dipinggir jalan (hiks).
Rencananya, bapak saja yang masuk ke area pondok untuk memperoleh informasi
pendaftaran. Selang sepuluh menit, bapak datang menghampiri saya dan
menjelaskan kalau pendaftaran sudah ditutup. Sedih? Tentu. Jauh-jauh kami
menempuh perjalanan, tetapi harus menerima kekecewaan.
Meski demikian, ternyata bapak juga diberi kabar gembira; ada
pondok yang masih membuka pendaftaran siswa baru dan letaknya tidak terlalu
jauh dari Krapyak, yaitu PP. An Nur. Kabarnya, pengasuh pondok tersebut masih
kerabat dari pendiri PP. Al-Munawwir. Tanpa pikir panjang, bapak lantas
mengajak saya untuk meneruskan perjalanan menuju tempat yang dimaksud.
Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit menggunakan bus, kami
pun akhirnya sampai di lokasi tujuan. Ketika memasuki area pondok, sontak hati
saya menjerit. Haah.. Inikah yang dinamakan pondok?. Bangunan besar yang
terdiri dari kamar-kamar berukuran kecil. Dipenuhi orang-orang yang memakai
sarung. Suatu pemandangan yang belum pernah saya lihat.
Entah
berapa lama saya terpaku melihat kondisi yang ada. Hingga tiba-tiba, seseorang
berkopiah, berbaju lengan panjang dan bersarung menemui kami. Ia memperkenalkan
diri sebagai pengurus pondok. Kami dipersilahkan masuk ke ruang kantor. Usai
berbicara panjang lebar, kemudian kami diantar ke rumah pengasuh untuk
bersilaturahmi. (Suatu saat saya mengerti; kalau proses ini adalah tata cara
yang perlu dilakukan agar orang tua secara resmi menitipkan anaknya kepada
pengasuh).
Kyai H. Nawawi, pengasuh PP. An Nur. Waktu itu usia beliau kisaran
tujuh puluh dua tahun. Pembawaannya tenang penuh kharisma. Beliau menyambut
kedatangan kami dengan bahagia.
Komentar
Posting Komentar