Kenapa Malu Jadi Penakut


Sudah mafhum kalau karakter manusia turut berubah seiring dengan bergantinya era kehidupan yang dijalani. Apapun perubahan yang terjadi, dampak paling besar akan dialami oleh remaja. Hal ini mengacu pada posisi remaja yang merupakan kelompok usia produktif. Sehingga, sangat cepat merespon apapun yang terjadi atau -bisa disebut- gumunan. Disamping itu, remaja adalah makhluk labil (katanya). Mudah terbawa arus lingkungan dan suka dengan hal-hal baru.
Berbagai problem sosial mau tidak mau, suka tidak suka pastilah harus dihadapi para remaja. Nah, tulisan kali ini utamanya untuk mengulas persoalan remaja laki-laki. Lho, kok hanya remaja laki-laki? Apa ini bentuk diskriminasi terhadap remaja perempuan? Oh, tidak, hanya masalah waktu saja say. Sabar, nanti dikesempatan berikutnya ya.
Problem sosial yang terjadi “hari ini” erat kaitannya dengan ketakutan. Pernah dengar tentang remaja yang diancam denda 400 ribu jika (takut) tidak ikut serta dalam tawuran? Wuiiih… plok, plok, plok. Aplus untuk penggagasnya. Bagi keluarga saya, uang segitu bisa untuk makan 20 hari.
Biasanya bermula dari kumpulan tiga, lima sampai sepuluh remaja di sekolah. Selanjutnya terbentuklah sebuah geng. Mereka lantas sering bertemu juga diluar jam sekolah. Ada saja aksi yang dilakukan sebagai aktualisasi dan eksistensi, serta bersiasat untuk merekrut anggota baru.
“Wong lanang kok ora seneng nongkrong” begitu celetukan si “sok” pemimpin untuk menarik perhatian. Kalau dilihatnya anggota baru masih terkesan kikuk, hari berikutnya akan ditambahi. “Wong lanang kok ora kendel. Wong lanang kok ora ngombe. Wong lanang kok ora wani gelut.”
Ucapan bernada tantangan seperti itu biasanya ampuh menghentak harga diri. Hasilnya mudah ditebak. Mereka pun kemudian larut dalam persatuan dan kesatuan yang semu.
Seorang bapak pernah berkisah, bahwa pada masa mudanya yang disebut penakut adalah remaja yang tidak berani manjat pohon kelapa. Nah loh… Keadaan di masa itu cukup rasional, sebab kalau takut berarti tidak bisa mengambil buah kelapa. Padahal dari buah kelapa yang dijual nantinya akan memperoleh uang untuk membayar sekolah dan kebutuhan lainnya.
Sungguh beruntung hidup di zaman ini. Meskipun penakut (tidak berani manjat pohon), tetapi tetap bisa sekolah dan punya uang jajan. Hahahaaa… Orang tua sangat bertanggung jawab dalam hal nafkah. Anak diarahkan untuk fokus belajar saja. Enak kan?
Beruntungnya lagi, (bagi mereka) yang penakut maka hikmahnya; tidak pernah diajak kumpul-kumpul ala geng anarkis. Lha memang betul-betul penakut. Takut berkelahi, takut mabuk minuman keras, takut nyuri, takut terhadap banyak hal yang dikhawatirkan dapat membuat sedih orang tuanya.
Ini betul atau salah?. Silakan rasakan jawaban dari lubuk hati yang paling dalam. Melalui analisis yang tidak mendalam sekalipun bisa terlihat jelas perkembangan remaja era kekinian. Jalan raya kita penuh dengan aksi kebut tanpa takut dari para remaja. Meskipun belum punya SIM, tapi puedenya pool beraksi di jalanan.
Walaupun wajah masih imut-imut, tapi kalau sudah bergerombol, sungguh ekstrim. Jalanan jadi milik sendiri. Beberapa kali saya menyaksikan langsung para ibu yang harus menjadi korban hantaman motor gerombolan ini. Situasi yang pelik dan miris.
Terlihat lebih tragis lagi ketika mereka bergerombol menjadi oknum suporter sepakbola. Sering adu bentrok dengan pihak lain. Tengoklah berita yang terjadi akhir-akhir ini. Ada korban meninggal dunia akibat aksi kekerasan oknum suporter. Mereka masih muda dan tentunya lebih punya harapan panjang untuk menggapai masa depan gemilang.
Karena tidak ingin tulisan ini terlalu panjang, mari kita ulas satu saja hikmah menjadi penakut;
Hikmah takut berkelahi. Ya, berkelahi memang kelihatannya jantan banget, berani duel. Tapi lihatlah akibatnya, dendam kesumat turun temurun. Apalagi yang sampai berdarah-darah, bisa panjang urusannya. “Darah harus dibalas dengan darah” itu ucapan yang menggetarkan sanubari. Artinya, kalau ada salah satu pihak yang terluka, maka pihak lawan harus ganti dilukai.
Ada kejadian menarik yang dialami seorang remaja pemarah. Hampir setiap hari ia memarahi teman-teman sekolahnya. Masalah sepele seringkali memicu emosinya. Nampaknya remaja ini adalah jagoan sekolah. Mengetahui kondisi tersebut, maka sang ayah mengajaknya bicara.
“Nak, ayuk kita ke halaman belakang rumah. Ada sesuatu yang ingin ayah tunjukkan”. Meski berat hati, si anak tetap menurut mengikuti langkah ayahnya.
Sesampainya di halaman, sang ayah lantas memberinya palu dan paku.
“Sekarang taruh paku itu di atas pagar kayu, lalu pukul dengan palu.” Meski malas, diturutinya juga arahan sang ayah.
Seusai paku tertancap dipagar, sang ayah berpesan “Mulai besok, hitunglah berapa kali kau marah di sekolah. Kemudian sesampainya dirumah, tancapkanlah paku sejumlah marahmu”.
Mendengar pesan itu, si anak bingung. Lama ia terdiam, tapi kembali diturutinya juga pesan sang ayah.
Dua minggu berikutnya, sang ayah mengecek pagar yang ditancapi paku. Terkejut sang ayah, diluar perkiraannya jumlah paku mencapai dua ratus lebih! Artinya dalam satu hari si anak marah sampai lebih dari sepuluh kali.
Dipangginya si anak dan diminta untuk mencabut semua paku. Tentu si anak bertanya-tanya, untuk apa dicabut. Protes ia layangkan pada sang ayah.
“Sudah, lakukan saja. Nanti ayah jelaskan”
Setelah semua paku tercabut. Setelah si anak kelelahan. Sang ayah mengajaknya untuk mengamati kondisi pagar kayu.
“Lihatlah nak, terlihat lubang”. Si anak tertawa keras (tentu saja lubang, kan bekas ditancapi paku).
Rupanya sang ayah menerangkan, bahwa paku yang ditancapkan dan kemudian dicabut pasti meninggalkan bekas (berupa lubang). Demikian juga ketika kita marah bahkan sampai melukai fisik orang lain. Pasti akan berbekas meskipun ratusan kali kita menyesalinya dan ratusan kali pula kita meminta maaf.

Komentar