Nasihat untuk Adik-adik Mahasiswa

Foto: iiq-annur.ac.id
Assalamu`alaikum adik-adikku tercinta.
Salam bahagia!
Perkenalkan, nama saya Muhamad Taufik. Mulai menjadi mahasiswa IIQ (dulu STIQ) An Nur tahun 2005. Sebenarnya ada banyak nasihat yang ingin saya sampaikan untuk adik-adik mahasiswa. Namun dalam tulisan ini, kiranya cukuplah sedikit saja nasihat yang saya bagikan. Tak mengapa kan? ya, ya, hehee..
Dasarnya adalah tawadhu`. Rasanya tidak layak kalau berlama-lama memberi nasihat. Apalah saya ini, alumni yang dulu tertatih-tatih untuk bisa lulus setelah lebih dari lima tahun kuliah. Pilihan kuliah di IIQ adalah wajib hukumnya bagi saya di masa itu. Sebagai santri An Nur yang cukup taat pada kyai (eheem…), saya pun tanpa ragu mendaftar di IIQ. Mengambil jurusan Tarbiyah, Prodi Pendidikan Agama Islam.
Kelak ada yang bertanya; “Di IIQ ngambil jurusan apa? Kok lama lulusnya”.
Saya lantas menjawabnya sepenuh hati; “Di IIQ saya ambil hikmahnya”.
Mbah kyai Nawawi merintis IIQ melalui perenungan panjang. Bukan asal mendirikan untuk meningkatkan pamor PP. An Nur. IIQ dibangun sebagai lembaga keilmuan yang dapat melengkapi keilmuan yang diperoleh dari pesantren. Mbah kyai berharap besar santri-santrinya mendukung keberadaan IIQ. Salah satunya ya dengan menyarankan santri kuliah di dalamnya.
Sesederhana itu saja kemudian saya nderek keinginan beliau. Semua berjalan baik, kuliah berlangsung sebagaimana umumnya kampus. Ada pembelajaran bersama dosen, presentasi makalah, diskusi dan pengayaan literatur.
Jarak antara pesantren dan kampus terbilang dekat, hanya sekitar 100 meter. Berjalan kaki cukup ditempuh empat menit. Minim polutan kendaraan. Terhindar dari resiko ekstrim debu jalanan. Udara segar khas semilir angin sawah. Ahay, senangnya kuliah di IIQ.
Adik-adikku yang menawan…
Sangat penting dipahami bahwa masa kuliah S1 juga seiring dengan proses berkembangnya individu. Masa dimana kedewasaan berpikir diupayakan dan kepekaan sosial terus-menerus dilatih. Perlu banyak stimulus agar mampu membentuk karakter tersebut.
Naluri perjuangan haruslah dibangun penuh idealisme. Apa yang dipandang baik dan bermanfaat, yakinilah itu sebagai prinsip hidup. Mahasiswa bukan lagi siswa yang cuma membaca dan mendengar. Tetapi lebih dari itu, mahasiswa wajib memiliki kemampuan memahami apa yang dipelajarinya. Inilah nantinya yang akan menguatkan batin dalam membuka cakrawala pemikiran. Sehingga tidak mudah goyah atau bimbang atas problem keilmuan yang dihadapinya.
Menjadi mahasiswa tidaklah terbatas dalam ruang kelas perkuliahan. Ada berbagai ilmu di luar kelas yang sejatinya patut dipelajari. Sering-seringlah konsultasi maupun diskusi bersama dosen diluar kelas (bahkan luar kampus). Melalui obrolan santai, tanpa balutan formal, justru transfer keilmuan beliau-beliau ini terasa “lebih” berhasil.
Wawasan mahasiswa kian bertambah ketika bersentuhan langsung dengan realita di masyarakat. Bagaimana memahami arti kehidupan secara lebih luas yang nantinya bisa menjadi bekal di masa depan. Banyak hal menarik yang eman-eman untuk dilewatkan. Terlebih, mumpung tinggal di daerah yang mengedepankan pendidikan dan budaya, Yogyakarta.
“Mumpung di Jogja. Mau belajar apa saja bisa”, begitu saran seorang kawan
Sebagai lelaki visioner yang soleh, tentu saya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mumpung di jogja sobat! Mumpung masih muda bertenaga!.
Adik-adikku yang berbahagia…
Ada tiga kebiasaan utama yang mesti dilakukan terus menerus oleh mahasiswa berprestasi, yaitu membaca, menulis dan meneliti. Terkhusus mahasiswa yang mau saja. Yang malas baca, nulis atau neliti, ya, emm hehee... silakan, tetap terbuka peluang berprestasi di bidang lain.
Satu; Kebiasaan Membaca
Mahasiswa perlu membaca untuk menambah wawasan. Mulailah membaca buku yang disukai, yang bikin betah berlama-lama menikmatinya, bukan buku yang dibaca karena sebatas tuntutan tugas kuliah.
Baca buku ribet, gogling saja sesuai tema yang dibutuhkan!
Ribet karena harus cari bukunya? bolak-balik halamannya?. Ingat, kita akademisi yang wajib teliti dan cerdas beragumentasi. Buku jelas dibuat melalui proses panjang (kecuali buku-buku kacangan yang asal terbit). Penulisnya melakukan olah pikir dan olah rasa yang menguras energi. Menulis sesuai bidang yang dikuasainya. Maka tepat kalau buku dijadikan referensi utama.
Kalau e-book kak?
Bisa saja, tapi kalau laptop atau gadget kehabisan daya sewaktu sedang seriusnya membaca? Nah, lo
Coba dulu ya, diawali dengan bismillah bacalah buku yang disuka perlahan-lahan. Nantinya lama kelamaan kualitas bacaan akan meningkat seiring bertambahnya kebutuhan. Ikuti pula berbagai acara diskusi, bedah buku dan tentunya pameran buku. Lalu, belilah bukunya, jangan ragu-ragu. Teladanilah Bung Hatta, Wapres pertama kita, memiliki banyak buku yang kemudian menjadi warisan terindah untuk anak-anaknya.
Dua; Kebiasaan Menulis
Ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Ini penting dilakukan, sebab manusia tidak mungkin mengingat semua pemikirannya seumur hidup. Harus segera ditulis ilmu yang didapat sebelum hilang dari ingatan. Kondisi demikian sering saya alami. Maka sebagai bentuk ikhtiar, saya pun berusaha mempelajari proses untuk bisa menulis yang baik.
Setiap mengetahui info seputar pelatihan menulis, saya bergegas mengikutinya. Banyak acara yang diselenggarakan gratis. Kalaupun berbayar, biasanya pihak penyelenggara menyediakan harga tiket khusus (lebih murah) bagi mahasiswa. Wahai sobat, manfaatkanlah kesempatan ini sebaik-baiknya, mumpung masih berstatus mahasiswa.
Bentuk tulisan bisa digolongkan menjadi dua jenis, yakni Fiksi dan Nonfiksi. Fiksi ialah tulisan yang lahir dari imajinasi penulisnya, berlandaskan fakta yang kemudian dikembangkan dengan sentuhan kata-kata indah dan sarat khayalan. Oleh sebab itu, tulisan fiksi tidak lagi murni bermuatan fakta dan kemudian disebut karya sastra seperti novel, cerpen, cerbung dan lainnya.
Sedangkan nonfiksi merupakan tulisan fakta, kenyataan yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, meskipun tetap menggunakan diksi yang indah. Model tulisan ini yaitu artikel ilmiah, skripsi, tesis, disertasi, berita, resensi, esai dan sebagainya.
Ketekunan dalam proses kreatif menulis, ternyata berbuah manis. Beberapa kali hasil tulisan saya berupa artikel dimuat majalah dan surat kabar. Saking senangnya karena pemuatan tersebut, eh honor tulisan dilupakan (sengaja tidak diambil, hehe).
eits... Itu dulu, kalau sekarang mayoritas manajemen media mengirimkan honor penulis melalui transfer bank. Jadi tanpa perlu mengambil ke kantor media pun, honor tetap jatuh ke tangan penulis yang beruntung. Tunggu apalagi, yuk mahasiswa menulislah. Dapatkan honornya, simpan untuk melamar calon istri tercinta, eheem
Tiga; Kebiasaan Meneliti
Meneliti adalah skill penting bagi mahasiswa yang akan mengerjakan tugas akhir. Ya, mau tidak mau mahasiswa harus berkutat dengan penelitian seputar tema skripsi. Lebih afdolnya jikalau jauh-jauh hari dari proses skripsi, mahasiswa sudah belajar meneliti. Betul? (kalau betul, saya bersyukur. Kalau salah, mohon dibetulkan).
Meneliti merupakan kebutuhan dalam menjawab berbagai problem maupun hal menarik yang ada di sekitar kita. Langkah ini menjadi refleksi diri, sejauhmana kita mampu merespon suatu persoalan. Hingga akhirnya dapat menemukan titik terang kebenarannya.
Latihan meneliti bisa dimulai dari tema yang mudah. Terus-menerus rutin dilakukan. Tiba saatnya nanti akan terasa manfaatnya ketika mengerjakan tugas akhir berupa skripsi. Pastinya lancar jaya, kan sudah terbiasa meneliti. Sudah paham bagaimana prosesnya.
Adik-adikku yang ramah hatinya…
Kiranya cukup ini nasihat dari saya. Intinya; kebiasaan membaca, menulis dan meneliti adalah modal terbaik bagi mahasiswa. Kampus IIQ An Nur menyediakan kebutuhan untuk melatih kebiasaan itu. Ada banyak buku-buku bermutu di perpustakaan. Ada banyak dosen yang senang berbagi ilmu menulis. Ada banyak mata kuliah yang memuat materi tentang penelitian. Semangat!
Ingat, jangan mengikuti jejak saya. Meskipun gemar membaca, rajin menulis dan senang meneliti, tetapi saya tetaplah gagal dalam akademis. Memperoleh gelar sarjana tidak tepat waktu karena mengulang beberapa mata kuliah dan lama menyelesaikan skripsi. Menyesal? Tentu, tapi tidak terlalu. Sebab, walau gagal dalam akademis, tetapi saya tidak gagal dalam cinta! Hahaa
Catatan akhir; Hikmah mengulang mata kuliah mengakibatkan saya berjumpa dengan seorang gadis manis yang kini menjadi istri saya. Alhamdulillah… 

Komentar